TikTok kalah di pengadilan banding Amerika Serikat (AS) dalam upayanya membatalkan undang-undang yang dapat menyebabkan platform tersebut dilarang di Amerika Serikat. Putusan ini membawa TikTok selangkah lebih dekat menuju larangan operasional di AS
Namun, larangan bisa dihindari bila ByteDance sebagai induk perusahaan asal China menjual platform tersebut sebelum 19 Januari 2025. Setelah tenggat waktu tersebut, toko aplikasi dan penyedia layanan internet di AS bisa dikenai denda besar jika tetap mendistribusikan TikTok tanpa perubahan kepemilikan.
TikTok berencana mengajukan banding atas putusan ini.
“Mahkamah Agung memiliki rekam jejak panjang dalam melindungi hak kebebasan berbicara warga Amerika, dan kami yakin mereka akan melakukan hal yang sama untuk isu konstitusional penting ini,” ujar juru bicara TikTok, Michael Hughes, dikutip dari CNN International, Sabtu, (7/12/2024).
“Larangan TikTok ini dirancang berdasarkan informasi yang salah dan hipotetis, yang berujung pada penyensoran langsung terhadap rakyat Amerika,” tambahnya.
Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang pada April yang mengharuskan ByteDance menjual TikTok kepada pemilik non-China atau menghadapi larangan operasional. Legislator AS khawatir data pengguna TikTok dapat digunakan pemerintah China untuk pengawasan atau propaganda.
TikTok menggugat undang-undang tersebut pada Mei, menyebutnya melanggar kebebasan berbicara lebih dari 170 juta pengguna AS. Dalam sidang September, pemerintah AS berargumen algoritma TikTok di bawah kendali ByteDance dapat digunakan untuk memengaruhi pengguna AS.
Panel tiga hakim pengadilan banding menyatakan bahwa undang-undang tersebut dibuat untuk melindungi keamanan nasional AS. “Karena jangkauan TikTok yang luas, Kongres dan beberapa Presiden menyimpulkan bahwa pemisahan kendali platform ini dari pemerintah Tiongkok sangat penting untuk melindungi keamanan nasional,” tulis mereka.
Hakim juga menolak keberatan TikTok terkait keprihatinan keamanan nasional yang diajukan pemerintah AS. Menurut pengadilan, TikTok hanya “berdebat soal detail” tanpa mengatasi kekhawatiran utama terkait manipulasi algoritma dan pengumpulan data.
Analis eMarketer, Jasmine Enberg, menyebut putusan ini sebagai kemunduran besar bagi TikTok, tetapi belum menjadi akhir dari perjuangannya.
“Jika banding ke Mahkamah Agung juga gagal dan larangan diberlakukan, ini akan menyebabkan guncangan besar di lanskap media sosial, menguntungkan Meta, YouTube, dan Snap, tetapi merugikan pembuat konten serta bisnis kecil yang mengandalkan TikTok,” ujarnya.
Pendukung TikTok, Patrick Toomey, Deputi Direktur Proyek Keamanan Nasional ACLU, mengecam putusan ini sebagai preseden yang berbahaya.
“Melarang TikTok secara terang-terangan melanggar hak Amandemen Pertama jutaan orang Amerika yang menggunakan aplikasi ini untuk berekspresi dan berkomunikasi,” kata Patrick.
Reaksi dari pengguna TikTok juga beragam, dengan sebagian besar merasa khawatir atas kemungkinan larangan. “Ini gila,” ujar salah satu pengguna dalam video yang diunggah ke platform tersebut. “Aku tidak ingin (CEO Meta) Mark Zuckerberg memiliki TikTok, itu tidak akan membuatku merasa lebih baik,” tambahnya.
Jika TikTok gagal mengajukan banding atau menjual sahamnya, larangan tersebut akan mulai berlaku sehari sebelum pelantikan Presiden AS berikutnya. Meskipun mantan Presiden Donald Trump pernah mencoba melarang TikTok, ia baru-baru ini menyatakan tidak lagi mendukung langkah tersebut.