Ilmuwan Teriak “Kiamat” Bumi, Tandanya Terasa di Indonesia

Gelombang panas ekstrem menyapu sebagian besar wilayah Texas Barat, Selatan, dan Tengah, memecahkan rekor suhu harian dengan suhu mencapai 37°C di ibu kota negara bagian, Austin, Amerika Serikat pada Rabu (14/5/2025). (Tangkapan Layar Video Reuters/)

Para ilmuwan Amerika Serikat (AS) mengumumkan catatan penting yang dapat menentukan nasib bumi. 

Mengutip Mashable, berada di tempat terpencil di Samudera Pasifik sekaligus di dataran tinggi Hawaii, Observatorium Dasar Atmosfer Mauna Loa milik Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional atau National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melakukan pengukuran atmosfer bumi harian yang tidak tercemar.

Pada tanggal 6 Juni 2025, NOAA mengungkap bukti bahwa gas karbon dioksida yang memerangkap panas telah berakumulasi di atmosfer lebih cepat dari sebelumnya atau meningkat tajam ke tingkat yang jauh di atas yang pernah dialami sepanjang sejarah peradaban manusia.

Pada bulan Mei ini, tingkat karbon dioksida (CO2) atmosfer mencapai 427 parts per million (ppm) atau meningkat hampir 3 ppm sejak Mei lalu (tingkat CO2 tahunan mencapai puncaknya pada bulan Mei, karena fluktuasi global alami) sekaligus menjadi puncak tingkat CO2 tertinggi yang pernah tercatat.

Catatan berkelanjutan dari laboratorium tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi atmosfer bumi telah berubah sejak akhir tahun 1950-an. Apabila ditambahkan ke sampel udara yang jauh lebih tua yang diambil dari kantong udara yang diawetkan di inti es Antartika dan Greenland kuno serta bersama dengan pengamatan lingkungan lainnya, maka perubahan atmosfer selama sekitar 150 tahun terakhir menjadi sangat penting. Lantas, tingkat CO2 di atmosfer kini makin meroket.

“CO2 tidak hanya berada pada level tertinggi dalam jutaan tahun, tetapi juga meningkat lebih cepat dari sebelumnya,” kata Direktur Program CO2 Scripps, Ralph Keeling yang mengelola program pengamatan atmosfer, dalam sebuah pernyataan dikutip Minggu (22/6/2025).

Dia menambahkan, setiap tahun tingkat CO2 atmosfer mencapai titik maksimum yang lebih tinggi karena pembakaran bahan bakar fosil. Hasil pembakaran ini menimbulkan polusi dalam bentuk karbon dioksida ke atmosfer.

“Polusi bahan bakar fosil terus menumpuk, seperti sampah di tempat pembuangan sampah,” sambung dia.

Masyarakat di seluruh dunia dapat membayangkan dampak besar atas perubahan yang terjadi di atmosfer bumi. CO2 kini dianggap sebagai gas jejak di atmosfer yang sejatinya didominasi oleh nitrogen dan oksigen. Namun, dalam realitas fisik, konsentrasi rendah berbagai hal memiliki dampak yang sangat besar.

“Selama setahun terakhir, kita mengalami tahun terpanas yang pernah tercatat, suhu laut terpanas yang pernah tercatat, dan serangkaian gelombang panas, kekeringan, banjir, kebakaran hutan, dan badai yang tampaknya tak berujung,” terang Administrator NOAA Rick Spinrad dalam sebuah pengumuman.

NASA juga mencatat bahwa 2023 merupakan tahun terhangat di bumi sejak pencatatan modern dimulai sekitar tahun 1880. Waktu 10 tahun berturut-turut terakhir telah menjadi periode terhangat yang pernah tercatat oleh NASA.

Dalam sebuah grafik hasil penelitian laboratorium Mauna Loa, terlihat bahwa kadar CO2 atmosfer terus meningkat sejak 1958 silam. Mereka juga menampilkan grafik peningkatan kadar CO2 atmosfer baru-baru ini dalam perspektif terhadap 800.000 tahun terakhir.

Namun, yang terpenting, peradaban tidak secara inheren hancur, seperti yang para ilmuwan iklim tekankan. Pada dasarnya dunia memiliki pilihan energi yang dapat membatasi konsekuensi terburuk dari perubahan iklim, khususnya dengan secara signifikan membatasi CO2 yang masuk ke atmosfer.

Untuk saat ini, stasiun pemantauan Mauna Loa dan stasiun pemantauan lainnya akan terus merekam fakta atmosfer bumi.

Cuaca Panas di Indonesia

Indonesia juga mengalami cuaca panas ekstrem dalam beberapa tahun terakhir. BMKG menyebut ada beberapa faktor yang memengaruhi cuaca panas mendidih di beberapa wilayah RI. Misalnya, langit yang cerah tanpa banyak awan sehingga pemanasan menjadi maksimal.

Lalu, posisi semu Matahari yang saat ini berada di dekat ekuator dan bergeser secara semu ke utara dengan posisi deklinasi terakhir pada 11.2 LU, yang berdampak pada penyinaran Matahari yang lebih optimum ke wilayah Indonesia.

“Kondisi tersebut diperparah dengan kecepatan angin yang relatif lemah di beberapa lokasi, sehingga menyebabkan distribusi panas tidak terjadi, dan memperparah akumulasi panas di permukaan,” tertulis dalam keterangan BMKG.

Tak cuma itu, kombinasi kelembaban udara yang relatif tinggi di Indonesia dan suhu udara yang optimal menyebabkan udara yang terasa di badan akan lebih tinggi dibanding normalnya.

Kas138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*